Sabtu, 14 Januari 2012

Puisi-Puisi Soe Hok Gie



Sebuah Tanya

“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, 
lembah Mandalawangi
kau dan aku tegak berdiri,
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, 
kota kita berdua, 
yang tua dan terlena dalam mimpinya. 
kau dan aku berbicara. 
tanpa kata, tanpa suara ketika 
malam yang basah menyelimuti jakarta kita
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. 
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. 
wajah2 yang tidak kita kenal berbicara 
dalam bahasa yang tidak kita mengerti. 
seperti kabut pagi itu
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”



Mandalawangi-Pangrango



Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurang mu

aku datang kembali

kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna

aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti,
tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah
dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966


Masyarakat Borjuis

ditulis saat Soe Hok Gie berumur 18 thn.
Ada suatu yang patut ditangisi
Aku kira kau pun tahu
Masyarakatmu, masyarakat borjuis
Tiada kebenaran disana
Dan kalian selalu menghindarinya
Aku selalu serukan (dalam hati tentu)
”Wahai, kaum proletar sedunia”
Berdoalah untuk masyarakat borjuis.
Ada golongan yang tercampak dari kebenaran
Dan berdiri atas nilai kepalsuan
Aku kira, tiada bahagia disana
Sebab tiada kasih, kebenaran dan keindahan
Dalam kepalsuan
Aku akan selalu berdoa baginya
(aku sendiri tak percaya pada doa, maaf)
Aku kira anda tiada kenal kasih
(Nafsu tentu ada)
Apakah bernilai dengan uang
Dan padamu, kawan
Semua adalah uang, perhitungan saldo
Tiada yang indah dalam kepalsuan
(Engkau tentu yakin?)
Di sinilah a moral ditutup oleh a moral
Di sinilah tabir-tabir yang terlihat
Dan seringkali aku bersepeda sore-sore
Bertemu dengan gadismu (borjuis pula)
Aku begitu sedih dan kasih
Aku begitu sedih dan kasih
Ya, Tuhan (aku tak percaya Tuhan)
Berilah mereka kebenaran
Aku tahu
Gadis cantik di mobil, bergaun abu-abu
Tapi bagiku tiada apa.
 

Pesan

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
(puisi Soe Hok Gie, dari harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973)



(untitled)

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah,
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza,
Tapi aku ingin menghabiskan waktu ku disisi mu sayang ku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mandala wangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau
Ada bayi-bayi yang lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati disisi mu manisku

Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tidak satu setan pun tahu
Mari sini sayangku
Kalian yang pernah mesra Yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa
Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua
Berbahagialah mereka yang mati muda
Mahluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu

(CSD, Selasa, 11 November 1969 --> puisi terakhir Soe Hok Gie)

Hidup
Terasa pendeknya hidup memandang sejarah
Tapi terasa panjangnya karena derita
Maut tempat perhentian terakhir
Nikmat datangnya dan selalu diberi salam
 By Soe Hok Gie 5-1-1962